Untuk Sampai ke Desa Kuala Karang yang dulunya sempat menjadi pusat
perekonomian dari beberapa kampung di wilayah pesisir ini, bisa ditempuh
melalui jalur sungai dari Kakap menggunakan speed boat 40 PK selama 4 sampai 5
jam di jalan dengan merogoh kocek sebesar Rp 60.000/orang, atau bisa juga
menggunakan angkutan umum kapal motor yang biasa di sehari-hari oleh masyarakat
pesisir tetapi memang memerlukan waktu agak lama sekitar 5 sampai 6 jam untuk
bisa sampai di Desa Kuala Karang.
Wilayah Desa Kuala Karang
kecamatan teluk pakedai kabupaten kubu raya ini merupakan kawasan pesisir yang memiliki
luas 8.000 km2 . secara administratif terbagi ke dalam 3 Dusun yakni
Dusun Suka Maju, Dusun Mas Bangun dan Dusun Swakarya. Jumlah penduduk Desa
Kuala karang sebanyak 1.682 jiwa, yang terdiri dari kaum laki-laki 869 jiwa dan
prempuan berjumlah 813 jiwa. Untuk jumlah Kepala Keluarga (KK) yang ada saat
ini sebanyak 382 KK. Suku bangsa yang mendiami Desa Kuala karang terdiri dari
Melayu, Bugis, dan Tionghoa.
Konon wilayah desa kuala
karang dan tempat pemukiman mereka yang ada saat ini merupakan lahan budidaya
kelapa, tetapi Setelah tahun 1940 mulai terjadi abrasi yang menyebabkan
lahan-lahan budidaya kelapa tersebut menjadi hilang. Pengaruh abrasi berdampak
sangat besar bagi masyarakat, mulai dari pengikisan kawasan pantai, hilangnya
sebagian pemukiman masyarakat, rusaknya tempat kuburan masyarakat, lenyapnya
lahan-lahan pertanian, bahkan menurut masyarakat setempat dalam kurun waktu 50
tahun terakhir terjadi abrasi sekitar 1 Km di wilayah desa kuala karang
Saat ini mayoritas
masyarakat di kuala karang hanya bekerja sebagai nelayan, walaupun Sebelumnya
tahun 1940 masyarakat di desa kuala karang ada memang yang bekerja sebagai
petani dengan membuka ladang. Namun setelah tahun 1940 mulai terjadi intrusi
air laut yang di sertai dengan masuknya air asin ke ladang-ladang pertanian
yang di garap oleh masyarakat melalui sungai-sungai kecil yang ada di wilayah
desa Kuala karang dan langsung bermuara kelaut.
pengaruh dari intrusi air laut tersebut menyebabkan kerusakan pada
tanaman padi sehingga kemudian mengakibatkan gagal panen. Faktor tadi membuat
banyak masyarakat yang enggan untuk membuka ladang lagi, sehingga mereka
beralih bekerja sebagai nelayan dengan pergi melaut mencari ikan maupun ke
sungai-sungai kecil dan hutan mangrove untuk mencari kepah, kepiting ataupun
udang. Sedangkan dari pihak pemerintah selama ini juga tidak ada memberikan
perhatian khusus untuk bisa melakukan intesifikasi terhadap lahan-lahan
pertanian masyarakat yang ada tersebut.
Pekerjaan melaut yang
selama ini di geluti oleh masyarakat Kuala Karang pada umumnya masih
menggunakan peralatan yang serba tradisional seperti perahu ataupun alat
tangkapnya, berbanding terbalik dengan nelayan dari wilayah lain yang sengaja
datang melaut ke perairan kuala karang menggunakan Kapal besar dan di dukung
oleh peralatan yang cukup memadai misalnya pukat Trawl (pukat penangkap ikan
yang tidak bisa sangkut di karang), bahkan kapal-kapal nelayan tersebut
tanpa mengenal musim dalam melaut sehingga hasil yang mereka perolehpun melebihi dari hasil nelayan di kuala karang.
Ketika sedang tidak melaut
maka masyarakat di Kuala Karang akan mencari ikan di sungai-sungai kecil, untuk
ibu-ibu biasanya mereka pergi ke hutan mangrove untuk mencari kepah, kepiting
maupun udang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari keluarga selama tidak pergi melaut.
Menurut masyarakat setempat sebelum masuknya tambak mencari kepiting hanya di
sekitar pemukiman saja bisa dapat 4 sampai 5 ekor. Namun setelah Tambak di buka
pada tahun 2009, di mana banyak terjadi penebangan hutan mangrove, penutupan
parit-parit yang ada di hutan mangrove sehingga menyebabkan mata pencahrian
masyarakat menjadi berkurang dan hilang.
Eksploitasi terhadap sumber daya alam yang terjadi di
Desa Kuala karang baik di kawasan hutan mangrove maupun laut secara berlebihan
telah berakibat buruk bagi keberlanjutan ekosistem alam, dimana telah terjadi
pembukaan hutan mangrove untuk tambak secara besar-besaran, penggunaan
alat-alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan Pukat
Trawl yang merusak terumbu karang (terumbu karang tempat tinggal ikan) ,
kapal-kapal besar yang menangkap ikan secara berlebihan. Faktor-faktor tersebut
merupakan salah satu penyebab semakin menurunnya hasil tangkapan ikan di laut,
hasil di hutan mangrove semakin berkurang, bahkan menurut masyarakat ada beberapa
jenis binatang maupun ikan yang hilang seperti ikan gembong,hiu macan, hiu
parang, ikan sembelang, ikan terubuk, ikan pirang-pirang, ikan ketang, ikan
golek, ikan getak, binatang bekantan dan beruang hitam. Selama ini jenis-jenis
ikan maupun binatang tersebut sudah tidak pernah di temukan lagi ketika oleh
masyarakat.
Ketika hasil sumber daya
alam yang ada di kawasan hutan mangrove dan laut sudah semakin berkurang dan
sudah tidak bisa di manfaatkan lagi, berdampak pada semakin menurunya penghasilan
masyarakat, bahkan hasil dari melaut dan hutan mangrove terkadang tidak ada sama
sekali yang bisa di jadikan sebagai rupiah, maka terpaksa masyarakat harus
berhutang ataupun meminjam uang ketempat toko maupun tengkulak yang ada di desa
kuala karang, agar bisa mencukupi semua kebutuhan hidup keluarga khususnya
pangan.
Kondisi sehari-hari masyarakat
kuala karang yang semakin sulit ini, telah berdampak terhadap tidak stabilnya
ekonomi mereka. Bekerja sebagai nelayan untuk sepenuhnya mencukupi kebutuhan
keluarga tetapi sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan lagi. Masyarakat juga
berharap adanya perhatian pemerintah untuk melakukan intensifikasi lahan-lahan
pertanian yang ada di kawasan pesisir khususnya Desa Kuala Karang, paling tidak
bisa memberi solusi bagi masyarakat ketika tidak melaut mereka bisa mengharapkan
dari hasil bertani, namun yang terjadi kemudian pihak pemerintah sengaja
menutup mata. Sehingga pada akhirnya masyarakat harus mengalami krisis pangan
dan terlilit oleh buruknya kondisi ekonomi secara terus menurus.